Rabu, 03 April 2013



BI Siapkan Skenario Untuk Perbankan Syariah
BeritaKaget.com // Aidhyl Materazzi Firkov // 29 Jan 2013 // Belum Ada Komentar
Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan 3 skenario untuk menumbuhkan perbankan syariah di tahun 2013. Skenario tersebut yakni optimis, moderat dan pesimis.
Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI Edy Setiadi menjelaskan, skenario optimis terjadi dalam hal faktor yang bersifat organik dan non organik, seperti dibukanya bank-bank syariah baru, spin off UUS menjadi BUS, konversi BUK menjadi BUS termasuk meningkatnya penempatan dana pemerintah di bank syariah diantaranya dana haji dan sukuk.
“3 skenario itu untuk menumbuhkan perbankan nasional di Indonesia,” kata Edy dalam Seminar Pengelolaan Dana Umat dengan Prinsip Ekonomi Syariah di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (29/1/2013).
Sementara untuk skenario moderat, dia mengatakan, terjadi dalam hal akselerasi perbankan syariah, seperti ekspansi pembiayaan yang terus berlanjut dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) terus meningkat.
Sedangkan skenario pesimis, kata dia, terjadi dalam hal ekspansi perbankan syariah mengalami tekanan baik faktor internal maupun eksternal. Tekanan internal bersumber dari semakin terbatasnya funding yang berhasil dihimpun dari publik. Tekanan dari faktor eksternal bersumber dari menurunnya kinerja perekonomian nasional.
Edy juga menuturkan, selain mendorong perkembangan perbankan syariah, kedepan (BI) juga berharap perbankan syariah bisa memanfaatkan dana wakaf (sumbangan) masyarakat untuk menjadi sumber alternatif pendanaan, yang selama ini masih bertumpu pada dana mahal atau deposito yaitu dengan meningkatkan pembiayaan dari dana umat seperti zakat, infak, dan sodakoh dan dana wakaf.
“Selain untuk mengentaskan kemiskinan, dana wakaf juga bisa digunakan oleh perbankan syariah untuk pembiayaan produktif. Wakaf itu dapat berperan sebagai salah satu pendanaan alternatif yang murah untuk kembangkan umat,” kata Edy.





Bisnis Gadai Emas PT Bank CIMB Mencapai Rp 126 Miliar

PT Bank CIMB Niaga Tbk melalui unit usaha syariahnya mengungkapkan bisnis rahn atau gadai emas masih terus meningkat. CIMB Niaga Syariah, Per 31 Desember 2012 mencatat pembiayaan gadai emas mencapai Rp 126,29 miliar, tumbuh 89% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 66,89 miliar.
Head of Syariah Banking CIMB Niaga, U. Saefudin Noer mengatakan emas masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam berinvestasi. Nilai emas yang selalu bergerak naik, ditambah sifatnya yang likuid, membuatnya mudah dijual saat ada kebutuhan uang tunai yang mendesak. Alhasil, pamor emas pun kian mengkilap saja.
“Hal ini tentunya berdampak positif terhadap bisnis jual beli emas, termasuk bisnis gadai emas,” kata Saefudin dalam siaran persnya, Minggu (20/1/2013).
Pasar gadai emas terus menunjukkan tren yang positif. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 14/7/DpBs tertanggal 29 Februari 2012 tentang aturan gadai emas turut menjadi pemicu meningkatnya bisnis gadai emas, khususnya di perbankan syariah. Dengan adanya aturan ini, bisnis gadai emas menjadi lebih tertata, serta hanya untuk pinjaman mendesak jangka pendek. Tidak ada lagi praktik gadai emas untuk investasi.
Menyasar segmen ritel dan mikro, Saefudin melanjutkan, layanan gadai emas CIMB Niaga Syariah kini tersedia di 89 outlet (per 31 Desember 2012), yang terdiri dari 22 kantor cabang syariah, 4 kantor cabang konvensional, dan 63 outlet Mikro Laju, yang tersebar di berbagai wilayah di Tanah Air. Saat ini, area Jabodetabek dan Jawa Barat masih memberikan kontribusi terbesar untuk layanan gadai emas CIMB Niaga Syariah.
Saefudin tetap optimistis, bisnis gadai emas masih akan terus berkembang. “Saat kebutuhan uang tunai datang, seperti liburan, biaya sekolah, hingga hari raya seperti Lebaran dan Natal, menggadaikan emas masih menjadi pilihan yang paling mudah dan cepat untuk mendapatkan uang tunai. Alhasil, bisnis gadai emas masih tetap menjanjikan,” ungkapnya.





Tiga Masalah Terbesar di Bank Syariah
JAKARTA, KOMPAS.com - Perkembangan bisnis perbankan syariah masih belum bisa berkembang pesat di Indonesia. Hal itu disebabkan karena masih ada persoalan yang menghambat bisnis perbankan syariah tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank-bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Achmad K Permana menjelaskan hingga saat ini aset industri perbankan syariah masih memiliki pangsa pasar di bawah 4 persen dibandingkan dengan keseluruhan perbankan nasional. "Sebenarnya ada tiga masalah besar di perbankan syariah. Ini yang menghambat perkembangan bisnis syariah sampai saat ini," kata Achmad saat diskusi "Menguak Krisis Sumber Daya Insani di Perbankan Syariah" di D Consulate Resto Jakarta, Senin (13/8/2012).
Pertama, ketersediaan produk dan standarisasi produk perbankan syariah. Hal ini dikarenakan selama ini masih banyak bank syariah yang belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standardisasi ini diperlukan dengan alasan industri perbankan syariah memiliki perbedaan dengan bank konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi nasabah muslim, melainkan juga nasabah nonmuslim.
Kedua, tingkat pemahaman (awareness) produk bank syariah. Hingga saat ini, sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang produk-produk perbankan syariah dan istilah-istilah di perbankan syariah. "Hanya sekitar 30 persen dari sumber daya yang direkrut mengetahui istilah perbankan syariah serta tingkat awareness-nya," tambahnya.
Selain itu, masalah ketiga industri perbankan syariah adalah sumber daya manusia (SDM). Masalah yang terjadi adalah pihak perbankan kesulitan untuk mencari SDM perbankan syariah yang berkompeten dan mumpuni. "Kami justru banyak mengambil SDM untuk perbankan syariah dari perbankan konvensional dan SDM-SDM yang potensial. Sangat sedikit SDM yang diambil atau lulusan perguruan tinggi syariah," katanya.
Menurut Achmad kecenderungan mengambil SDM dari luar perguruan tinggi syariah karena SDM di perbankan syariah biasanya justru mudah diberikan pengetahuan tentang perbankan syariah.
Dari sisi karir, Achmad juga mengiming-imingi kemudahan untuk bersaing dibandingkan dengan karir di perbankan konvensional. "Rata-rata motivasi mereka bekerja adalah mencari karir dan pendapatan. Secara karir, SDM perbankan syariah tidak kalah dengan perbankan syariah, karena orangnya minim sehingga mudah untuk naik jenjang karir. Beda dengan perbankan konvensional yang sudah jenuh," jelasnya.
Sekadar catatan, Bank Indonesia memproyeksi industri perbankan syariah bisa memiliki pangsa pasar sebesar 15 persen pada 10 tahun mendatang (atau sekitar tahun 2022) apabila bisa mengalami pertumbuhan yang stabil seperti beberapa tahun terakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah yang saat ini menjadi anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan dengan rerata 40,5 persen per tahun, dalam setengah dasawarsa terakhir. Pertumbuhan tersebut dua kali lebih cepat dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga pangsa pasarnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun saat ini pangsa pasarnya (berdasarkan aset) masih sekitar 4 persen.
Editor :
Erlangga Djumena


Permodalan bank
(CAR) atau rasio kecukupan modal yang dihitung dengan membandingkan antara jumlah modal yang dimiliki Bank dengan total aktiva tertimbang menurut risiko (classified assets) saat ini sebesar 4%. Angka ini merupakan penye­suaian dari ketentuan yang berlaku secara internasional berdasarkan standar Bank for Interna­tional Settlement (BIS).
Fungsi Modal Bank
Modal Bank sekurang-kurangnya memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi operasional, fungsi perlindungan, fungsi pengamanan dan pengaturan. Keseluruhan fungsi modal Bank tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
  • memberikan perlindungan kepada nasabah
  • modal bank dapat mencegah terjadinya kejatuhan bank
  • untuk memenuhi kebutuhan gedung kantor dan inventaris
  • untuk memenuhi ketentuan permodalan minimum
  • meningkatkan kepercayaan masyarakat
  • untuk menutupi kerugian aktiva produktif bank
  • sebagai indikator kekayaan bank
  • meningkatkan efisiensi operasional bank








Modal & Risiko Bank




Lando Simatupang / Monday, 24 September 2012 11:56


Sebagai industri yang memiliki daya ungkit yang tinggi (highly leverage), maka bank sangatlah di atur, untuk menjaga kepentingan investor-investor kecil  - jumlahnya sangat banyak – dapat dijaga ketika terjadi salah kelola. (link “mengapa bank sangat diatur”). Sebagaimana layaknya usaha yang lain, modal merupakan sarana untuk menyerap kerugian dan kekuatan untuk ekspansi. Artinya, setiap ada kerugian bisnis serta merta akan memengaruhi permodalan bank, baik melalui laba/rugi proses mark to market, atau langsung kepada permodalan melalui risiko suku bunga banking book. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fungsi bank sebagai intemediari.
Sesuai dengan persamaan akuntasi Aset = Utang + Modal, maka setiap perubahan di Aset akan memengaruhi Utang dan atau Modal melalui laba rugi. Perhatikan contoh sederhana neraca bank, yang memiliki aset Rp 100, Utang Rp 95 dan Modal Rp 5. Bila suku bunga kredit dan deposito masing-masing 6% dan 5%, maka dengan tingkat gagal bayar (default rate) sebesar 0%, aset bank di akhir tahun meningkat menjadi Rp 106 dan modal menjadi Rp 6,25 melalui proses peningkatan laba sebesar Rp 1,25. Namun, dengan gagal bayar sebesar 4%, maka modal bank telah tergerus sebesar Rp 2,99 sehingga menjadi 2,01. Akibatnya pemilik bank akan mengalami kerugian karena tingkat pengembalian modal (ROE) menjadi minus 69,80%, dibandingkan dengan bila tidak terjadi gagal bayar dengan ROE 25%. Bila proses bisnis terus memburuk, misalnya gagal bayar menjadi 8%, maka modal bank menjadi minus Rp 2,23, karena pendapatan bank menjadi minus Rp 2,48 sementara biaya utang (bunga) tidak boleh default.  Neraca pertama memberikan gambaran kepada kita bahwa kegagalan mengelola bank akan berdampak penciptaan nilai bagi pemegang saham, yakni merugi dan ancaman untuk dilikuidasi karena modal sudah negatif.
Untuk mengatasinya, tindakan yang harus diambil adalah dengan menambah modal menjadi Rp 10. Pada neraca kedua, dengan gagal bayar 8%, bank tetap bertahan dalam bisnis, tidak dilikuidasi karena modal bank masih positif Rp 3,02. Namun, bila bank dikelola dengan semberono atau tidak mampu berselancar di atas gelombang perubahan yang menimbulkan risiko strategik dan risiko kredit, maka dengan gagal bayar yang lebih tinggi, misalnya 11%, bank ini membutuhkan injeksi modal baru. Artinya, injeksi modal bank tidak akan memberi manfaat dalam jangka panjang bila risiko yang dihadapi tidak dikelola dengan baik. Tetapi, dalam jangka pendek, injeksi modal telah membuat bank tetap bertahan dalam menghadapi gejolak. Meskipun demikian, kekuatiran yang perlu diperhatikan adalah  perasaan nyaman injeksi modal. Perhatikan ilustrasi ini. Ketika Anda berkendara dengan sebuah mobil yang dipersepsikan nyaman, aman dan mewah dapat mengurangi atau menghilangkan kesadaran risiko (risk awareness), karena mobil akan digenjot dengan kecepatan tinggi.  Namun, ketika mobil Anda sudah tua dan dashboard tidak mampu memberikan informasi yang memadai, tidakkah Anda akan mengendarainya sangat hati-hati atau cenderung lambat, sehingga batu kecil di depan mobil dapat dengan mudah dikenali. Dengan demikian, dengan modal yang besar, kesadaran risiko bank akan berkurang karena mengandalkan semuanya kepada kecukupan modal. Tetapi dengan modal yang kecil bank tidak bisa melihat jauh ke depan (ekspansi), berkutat pada operasional sehari-hari. Oleh karena itu, bank harus memiliki keseimbangan pola pikir dalam mengelola risiko dan permodalan. Beberapa penulis menyimpulkan arti penting keseimbangan modal dan manajemen risiko. Pietro Penza dan Vipul K. Bansal mengatakan bahwa modal bukanlah subsitusi untuk manajemen risiko yang memadai dan seharusnya modal haruslah digandakan dengan manajemen risiko yang efektif. (Market risk management, 2002, pp 24) Selain itu, Brendon Young  dan  Rodney Coleman, mengatakan, bahwa “dalam hal menilai kecukupan modal, modal bukanlah sebuah panasea” (Operational risk assessment, 2009, pp 215).
Berdasarkan contoh neraca di atas, bank perlu mengembangkan manajemen risiko (link proses manajemen risiko), misalnya pada risiko kredit yang dimulai dari proses inisiasi, analisis hingga penyelamatan dan penyelesaian. Atau mengelola neraca dalam manajemen aktiva-pasiva (ALM) sedemikian rupa melalui struktur dana pihak ketiga yang didominasi oleh produk berbunga rendah atau deposito inti yang stabil dan cenderung meningkat aktiva produktif yang menciptakan spread yang besar dan stabilitas profitabilitas. (link pengertian asset and liability management) Selain itu, bank harus mengelola ragam jenis modalnya yang sesuai dengan regulasi KPMM, atau yang mampu menutup semua risiko yang dihadapi termasuk yang kualitatif. (link economic capital)
Sebagai industri yang memiliki daya ungkit yang tinggi (highly leverage), maka bank sangatlah di atur, untuk menjaga kepentingan investor-investor kecil  - jumlahnya sangat banyak – dapat dijaga ketika terjadi salah kelola. (mengapa bank sangat diatur). Sebagaimana layaknya usaha yang lain, modal merupakan sarana untuk menyerap kerugian dan kekuatan untuk ekspansi. Artinya, setiap ada kerugian bisnis serta merta akan memengaruhi permodalan bank, baik melalui laba/rugi proses mark to market, atau langsung kepada permodalan melalui risiko suku bunga banking book. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fungsi bank sebagai intemediari. 
.
http://www.bankirnews.com/images/stories/modalbank.png
Sesuai dengan persamaan akuntasi Aset = Utang + Modal, maka setiap perubahan di Aset akan memengaruhi Utang dan atau Modal melalui laba rugi. Perhatikan contoh sederhana neraca bank, yang memiliki aset Rp 100, Utang Rp 95 dan Modal Rp 5. Bila suku bunga kredit dan deposito masing-masing 6% dan 5%, maka dengan tingkat gagal bayar (default rate) sebesar 0%, aset bank di akhir tahun meningkat menjadi Rp 106 dan modal menjadi Rp 6,25 melalui proses peningkatan laba sebesar Rp 1,25. Namun, dengan gagal bayar sebesar 4%, maka modal bank telah tergerus sebesar Rp 2,99 sehingga menjadi 2,01. Akibatnya pemilik bank akan mengalami kerugian karena tingkat pengembalian modal (ROE) menjadi minus 69,80%, dibandingkan dengan bila tidak terjadi gagal bayar dengan ROE 25%. Bila proses bisnis terus memburuk, misalnya gagal bayar menjadi 8%, maka modal bank menjadi minus Rp 2,23, karena pendapatan bank menjadi minus Rp 2,48 sementara biaya utang (bunga) tidak boleh default.  

Neraca pertama memberikan gambaran kepada kita bahwa kegagalan mengelola bank akan berdampak penciptaan nilai bagi pemegang saham, yakni merugi dan ancaman untuk dilikuidasi karena modal sudah negatif. Untuk mengatasinya, tindakan yang harus diambil adalah dengan menambah modal menjadi Rp 10. Pada neraca kedua, dengan gagal bayar 8%, bank tetap bertahan dalam bisnis, tidak dilikuidasi karena modal bank masih positif Rp 3,02. Namun, bila bank dikelola dengan semberono atau tidak mampu berselancar di atas gelombang perubahan yang menimbulkan risiko strategik dan risiko kredit, maka dengan gagal bayar yang lebih tinggi, misalnya 11%, bank ini membutuhkan injeksi modal baru. Artinya, injeksi modal bank tidak akan memberi manfaat dalam jangka panjang bila risiko yang dihadapi tidak dikelola dengan baik. Tetapi, dalam jangka pendek, injeksi modal telah membuat bank tetap bertahan dalam menghadapi gejolak.
       
Meskipun demikian, kekuatiran yang perlu diperhatikan adalah perasaan nyaman injeksi modal. Perhatikan ilustrasi ini. Ketika Anda berkendara dengan sebuah mobil yang dipersepsikan nyaman, aman dan mewah dapat mengurangi atau menghilangkan kesadaran risiko (risk awareness), karena mobil akan digenjot dengan kecepatan tinggi. Namun, ketika mobil Anda sudah tua dan dashboard tidak mampu memberikan informasi yang memadai, tidakkah Anda akan mengendarainya sangat hati-hati atau cenderung lambat, sehingga batu kecil di depan mobil dapat dengan mudah dikenali. Dengan demikian, dengan modal yang besar, kesadaran risiko bank akan berkurang karena mengandalkan semuanya kepada kecukupan modal. Tetapi dengan modal yang kecil bank tidak bisa melihat jauh ke depan (ekspansi), berkutat pada operasional sehari-hari. Oleh karena itu, bank harus memiliki keseimbangan pola pikir dalam mengelola risiko dan permodalan. Beberapa penulis menyimpulkan arti penting keseimbangan modal dan manajemen risiko. Pietro Penza dan Vipul K. Bansal mengatakan bahwa modal bukanlah subsitusi untuk manajemen risiko yang memadai dan seharusnya modal haruslah digandakan dengan manajemen risiko yang efektif. (Market risk management, 2002, pp 24) Selain itu, Brendon Young  dan  Rodney Coleman, mengatakan, bahwa “dalam hal menilai kecukupan modal, modal bukanlah sebuah panasea” (Operational risk assessment, 2009, pp 215).
      
Berdasarkan contoh neraca di atas, bank perlu mengembangkan manajemen risiko (proses manajemen risiko), misalnya pada risiko kredit yang dimulai dari proses inisiasi, analisis hingga penyelamatan dan penyelesaian. Atau mengelola neraca dalam manajemen aktiva-pasiva (ALM) sedemikian rupa melalui struktur dana pihak ketiga yang didominasi oleh produk berbunga rendah atau deposito inti yang stabil dan cenderung meningkat aktiva produktif yang menciptakan spread yang besar dan stabilitas profitabilitas. (link pengertian asset and liability management) Selain itu, bank harus mengelola ragam jenis modalnya yang sesuai dengan regulasi KPMM, atau yang mampu menutup semua risiko yang dihadapi termasuk yang kualitatif. (economic capital)
    
Penulis : Lando Simatupang


|
Permodalan Bank




Ahza Anwari / Tuesday, 11 May 2010 03:18

Pengertian modal secara umum adalah modal diartikan sejumlah dana yang ditanamkan kedalam suatu perusahaan oleh para pemiliknya untuk pembentukan suatu badan usaha dan menghendaki agar uang yang ditanamkannya, memberikan hasil.
Harapan atas pengembangan modal tersebut, diperoleh dari keuntungan atas operasional usaha, begitupun sebaliknya bila perusahaan mengalami kerugian, maka kondisi modal akan mengalami penurunan. Sementara itu,  pengertian modal bank dapat diartikan sebagai modal yang ditanamkan di Bank dan terdiri dari core modal dan modal penyangga.
Pada unsur modal bank, core modal disebut Modal  Inti dan Modal Penyangga atau disebut sebagai Modal Pelengkap.
Dalam neraca bank, terlihat bahwa rekening-rekening modal merupakan kewajiban dari passiva yang tergolong “Non Current”  artinya diluar dari kewajiban segera, tetapi  modal merupakan kewajiban dari bank terhadap pemiliknya. Untuk itu manajemen bank harus mempertangungjawabkan pengelolaan modal ini kepada pemegang saham pada waktu yang telah ditentukan, misalnya setahun sekali dalam RUPS. Modal merupakan salah satu faktor penting bagi Bank dalam rangka pengembangan usaha dan menampung risiko, tetapi juga sebagai sumber utama dana bank dalam memproteksi para deposannya. Berdasarkan ketentuan,  maka modal bank terdiri dari Modal Inti dan Modal Pelengkap.

Modal Inti
Modal inti adalah modal sendiri yang terdiri atas modal disetor, modal sumbangan, cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak. Komponen Modal Inti, dapat berupa Modal Disetor, Agio Saham, Modal Sumbangan, Cadangan Umum, Cadangan Tujuan, Laba yang Ditahan, Laba Tahun Lalu, Laba Tahun Berjalan,  kesemuanya dikurangi dengan kekurangan pembentukan jumlah PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif).
Secara rinci penjelasan  komponen atas  Modal Inti tersebut,  terurai sebagai berikut :
  • Modal Disetor,  yaitu modal yang telah disetor secara efektif oleh pemiliknya
  • Agio Saham, merupakan selisih setoran modal yang diterima oleh Bank sebagi akibat   harga saham yang melebihi nilai nominalnya.
  • Modal Sumbangan, berupa modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih antara nilai yang tercatat dengan  harga jual apabila saham tersebut dijual. Modal yang berasal dari donasi pihak luar yang diterima oleh Bank yang berbentuk Hukum Koperasi, juga termasuk dalam pengertian modal sumbangan.
  • Cadangan Umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang diatahan atau laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan RUPS  atau rapat anggota sesuai dengan ketentuan pendirian atau anggaran dasar masing-masing Bank.
  • Cadangan Tujuan, yaitu bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan RUPS atau Rapat Anggota.
  • Laba yang Ditahan, yaitu laba bersih yang dalam RUPS diputuskan untuk tidak dibagikan.
  • Laba Tahun Lalu, yaitu seluruh laba bersih  tahun-tahun yang lalu yang peruntukannya belum ditentukan oleh RUPS.
    h. Laba Tahun Berjalan, yaitu laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan  setelah dikurangi TAKSIRAN UTANG PAJAK, dimana  Laba Tahun Berjalan ini, diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50 % .

Modal Pelengkap
Modal Pelengkap,  adalah modal yang terdiri atas cadangan yang dibentuk tidak bersumber dari laba setelah pajak,  modal pinjaman serta modal subordinasi,  yang   terdiri atas :
  • Cadangan Revaluasi Aktiva Tetap, yaitu cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian  kembali Aktiva Tetap yang telah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
  • Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), yang diakui sebagai komponen modal pelengkap sebesar 1,25 % dari   dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).  
  • Modal Pinjaman, yaitu  utang yang didukung oleh instrumen atau warkat yang memiliki sifat seperti modal dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 
    • Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan, dipersamakan dengan modal dan telah dibayar penuh. Tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan Bank Indonesia.
    • Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal  dalam hal jumlah kerugian Bank melebihi laba yang ditahan dan cadangan-cadangan  yang termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi.
    • Pembayaran bunga dapat ditangguhkan apabila  bank dalam keadaan rugi  atau labanya tidak mendukung untuk membayar bunga tersebut.
  • Pinjaman Subordinasi, yakni pinjaman yang memenuhi syarat-syarat khusus secara tertulis, mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan,  minimal berjangka waktu 5 tahun, pelunasan sebelum jatuh tempo harus melalui persetujuan Bank Indonesia serta saat pelunasan tersebut kondisi bank tetap sehat.
Adapun fungsi permodalan bank, yaitu :
  • FUNGSI OPERATING, modal seyogyanya untuk membiayai aktiva tetap dan inventaris, yang bersifat permanen  mengingat modal adalah salah satu sumber dana jangka panjang.
  • FUNGSI REGULATORY, permodalan bank harus memenuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas moneter  bertujuan untuk membatasi risiko yang mungkin timbul dari aktivitas bank.
  • FUNGSI PROTECTIVE, yakni modal berfungsi untuk melindungi atau sebagai bumper dalam menyerap kerugian deposan”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar