BI Siapkan Skenario Untuk Perbankan
Syariah
BeritaKaget.com
// Aidhyl Materazzi Firkov // 29 Jan
2013 // Belum Ada
Komentar 
Bank
Indonesia (BI) telah menyiapkan 3 skenario untuk menumbuhkan perbankan syariah
di tahun 2013. Skenario tersebut yakni optimis, moderat dan pesimis.
Direktur
Direktorat Perbankan Syariah BI Edy Setiadi menjelaskan, skenario optimis
terjadi dalam hal faktor yang bersifat organik dan non organik, seperti
dibukanya bank-bank syariah baru, spin off UUS menjadi BUS, konversi BUK
menjadi BUS termasuk meningkatnya penempatan dana pemerintah di bank syariah
diantaranya dana haji dan sukuk.
“3
skenario itu untuk menumbuhkan perbankan nasional di Indonesia,” kata Edy dalam
Seminar Pengelolaan Dana Umat dengan Prinsip Ekonomi Syariah di Hotel Sultan,
Jakarta, Selasa (29/1/2013).
Sementara
untuk skenario moderat, dia mengatakan, terjadi dalam hal akselerasi perbankan
syariah, seperti ekspansi pembiayaan yang terus berlanjut dan peningkatan Dana
Pihak Ketiga (DPK) terus meningkat.
Sedangkan
skenario pesimis, kata dia, terjadi dalam hal ekspansi perbankan syariah
mengalami tekanan baik faktor internal maupun eksternal. Tekanan internal
bersumber dari semakin terbatasnya funding yang berhasil dihimpun dari publik.
Tekanan dari faktor eksternal bersumber dari menurunnya kinerja perekonomian
nasional.
Edy
juga menuturkan, selain mendorong perkembangan perbankan syariah, kedepan (BI)
juga berharap perbankan syariah bisa memanfaatkan dana wakaf (sumbangan)
masyarakat untuk menjadi sumber alternatif pendanaan, yang selama ini masih
bertumpu pada dana mahal atau deposito yaitu dengan meningkatkan pembiayaan
dari dana umat seperti zakat, infak, dan sodakoh dan dana wakaf.
“Selain
untuk mengentaskan kemiskinan, dana wakaf juga bisa digunakan oleh perbankan
syariah untuk pembiayaan produktif. Wakaf itu dapat berperan sebagai salah satu
pendanaan alternatif yang murah untuk kembangkan umat,” kata Edy.
Bisnis Gadai Emas PT Bank CIMB Mencapai Rp 126 Miliar
PT Bank CIMB Niaga Tbk melalui unit usaha
syariahnya mengungkapkan bisnis rahn atau gadai emas masih terus meningkat.
CIMB Niaga Syariah, Per 31 Desember 2012 mencatat pembiayaan gadai emas
mencapai Rp 126,29 miliar, tumbuh 89% dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya yang sebesar Rp 66,89 miliar.
Head of Syariah Banking CIMB Niaga, U. Saefudin
Noer mengatakan emas masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam berinvestasi.
Nilai emas yang selalu bergerak naik, ditambah sifatnya yang likuid, membuatnya
mudah dijual saat ada kebutuhan uang tunai yang mendesak. Alhasil, pamor emas
pun kian mengkilap saja.
“Hal ini tentunya berdampak positif terhadap
bisnis jual beli emas, termasuk bisnis gadai emas,” kata Saefudin dalam siaran
persnya, Minggu (20/1/2013).
Pasar gadai emas terus menunjukkan tren yang
positif. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 14/7/DpBs tertanggal 29
Februari 2012 tentang aturan gadai emas turut menjadi pemicu meningkatnya
bisnis gadai emas, khususnya di perbankan syariah. Dengan adanya aturan ini,
bisnis gadai emas menjadi lebih tertata, serta hanya untuk pinjaman mendesak
jangka pendek. Tidak ada lagi praktik gadai emas untuk investasi.
Menyasar segmen ritel dan mikro, Saefudin
melanjutkan, layanan gadai emas CIMB Niaga Syariah kini tersedia di 89 outlet
(per 31 Desember 2012), yang terdiri dari 22 kantor cabang syariah, 4 kantor
cabang konvensional, dan 63 outlet Mikro Laju, yang tersebar di berbagai
wilayah di Tanah Air. Saat ini, area Jabodetabek dan Jawa Barat masih
memberikan kontribusi terbesar untuk layanan gadai emas CIMB Niaga Syariah.
Saefudin tetap optimistis, bisnis gadai emas
masih akan terus berkembang. “Saat kebutuhan uang tunai datang, seperti
liburan, biaya sekolah, hingga hari raya seperti Lebaran dan Natal,
menggadaikan emas masih menjadi pilihan yang paling mudah dan cepat untuk
mendapatkan uang tunai. Alhasil, bisnis gadai emas masih tetap menjanjikan,”
ungkapnya.
Tiga Masalah Terbesar di Bank Syariah
JAKARTA, KOMPAS.com - Perkembangan bisnis perbankan syariah masih belum bisa
berkembang pesat di Indonesia. Hal itu disebabkan karena masih ada persoalan
yang menghambat bisnis perbankan syariah tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi
Bank-bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Achmad K Permana menjelaskan hingga
saat ini aset industri perbankan syariah masih memiliki pangsa pasar di bawah 4
persen dibandingkan dengan keseluruhan perbankan nasional. "Sebenarnya ada
tiga masalah besar di perbankan syariah. Ini yang menghambat perkembangan
bisnis syariah sampai saat ini," kata Achmad saat diskusi "Menguak
Krisis Sumber Daya Insani di Perbankan Syariah" di D Consulate Resto
Jakarta, Senin (13/8/2012).
Pertama, ketersediaan produk dan
standarisasi produk perbankan syariah. Hal ini dikarenakan selama ini masih
banyak bank syariah yang belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah.
Standardisasi ini diperlukan dengan alasan industri perbankan syariah memiliki
perbedaan dengan bank konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya
diperuntukkan bagi nasabah muslim, melainkan juga nasabah nonmuslim.
Kedua, tingkat pemahaman (awareness)
produk bank syariah. Hingga saat ini, sangat sedikit masyarakat yang tahu
tentang produk-produk perbankan syariah dan istilah-istilah di perbankan
syariah. "Hanya sekitar 30 persen dari sumber daya yang direkrut
mengetahui istilah perbankan syariah serta tingkat awareness-nya,"
tambahnya.
Selain itu, masalah ketiga industri
perbankan syariah adalah sumber daya manusia (SDM). Masalah yang terjadi adalah
pihak perbankan kesulitan untuk mencari SDM perbankan syariah yang berkompeten
dan mumpuni. "Kami justru banyak mengambil SDM untuk perbankan syariah
dari perbankan konvensional dan SDM-SDM yang potensial. Sangat sedikit SDM yang
diambil atau lulusan perguruan tinggi syariah," katanya.
Menurut Achmad kecenderungan
mengambil SDM dari luar perguruan tinggi syariah karena SDM di perbankan
syariah biasanya justru mudah diberikan pengetahuan tentang perbankan syariah.
Dari sisi karir, Achmad juga
mengiming-imingi kemudahan untuk bersaing dibandingkan dengan karir di
perbankan konvensional. "Rata-rata motivasi mereka bekerja adalah mencari
karir dan pendapatan. Secara karir, SDM perbankan syariah tidak kalah dengan
perbankan syariah, karena orangnya minim sehingga mudah untuk naik jenjang
karir. Beda dengan perbankan konvensional yang sudah jenuh," jelasnya.
Sekadar catatan, Bank Indonesia
memproyeksi industri perbankan syariah bisa memiliki pangsa pasar sebesar 15
persen pada 10 tahun mendatang (atau sekitar tahun 2022) apabila bisa mengalami
pertumbuhan yang stabil seperti beberapa tahun terakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI)
Halim Alamsyah yang saat ini menjadi anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mengatakan industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan dengan rerata 40,5
persen per tahun, dalam setengah dasawarsa terakhir. Pertumbuhan tersebut dua
kali lebih cepat dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga pangsa
pasarnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun saat ini pangsa
pasarnya (berdasarkan aset) masih sekitar 4 persen. 
Editor :
Erlangga Djumena
Permodalan bank 
(CAR) atau rasio kecukupan modal yang dihitung
dengan membandingkan antara jumlah modal yang dimiliki Bank dengan total aktiva
tertimbang menurut risiko (classified assets) saat ini sebesar 4%. Angka ini
merupakan penyesuaian dari ketentuan yang berlaku secara internasional
berdasarkan standar Bank for International Settlement (BIS). 
Fungsi Modal Bank
Modal Bank sekurang-kurangnya memiliki tiga
fungsi utama yaitu fungsi operasional, fungsi perlindungan, fungsi pengamanan
dan pengaturan. Keseluruhan fungsi modal Bank tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
- memberikan perlindungan kepada nasabah
- modal bank dapat mencegah terjadinya kejatuhan bank
- untuk memenuhi kebutuhan gedung kantor dan inventaris
- untuk memenuhi ketentuan permodalan minimum
- meningkatkan kepercayaan masyarakat
- untuk menutupi kerugian aktiva produktif bank
- sebagai indikator kekayaan bank
- meningkatkan efisiensi operasional bank
| 
Modal &
  Risiko
  Bank | 
| 
Monday, 24 September 2012 11:56  | ||||
| 
Sebagai industri yang memiliki
  daya ungkit yang tinggi (highly leverage), maka bank sangatlah di atur, untuk
  menjaga kepentingan investor-investor kecil  - jumlahnya sangat banyak –
  dapat dijaga ketika terjadi salah kelola. (link “mengapa bank sangat
  diatur”). Sebagaimana layaknya usaha yang lain, modal merupakan sarana untuk
  menyerap kerugian dan kekuatan untuk ekspansi. Artinya, setiap ada kerugian
  bisnis serta merta akan memengaruhi permodalan bank, baik melalui laba/rugi
  proses mark to market, atau langsung kepada permodalan melalui risiko suku
  bunga banking book. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fungsi bank sebagai
  intemediari. 
Sesuai dengan persamaan
  akuntasi Aset = Utang + Modal, maka setiap perubahan di Aset akan memengaruhi
  Utang dan atau Modal melalui laba rugi. Perhatikan contoh sederhana neraca
  bank, yang memiliki aset Rp 100, Utang Rp 95 dan Modal Rp 5. Bila suku bunga
  kredit dan deposito masing-masing 6% dan 5%, maka dengan tingkat gagal bayar
  (default rate) sebesar 0%, aset bank di akhir tahun meningkat menjadi Rp 106
  dan modal menjadi Rp 6,25 melalui proses peningkatan laba sebesar Rp 1,25.
  Namun, dengan gagal bayar sebesar 4%, maka modal bank telah tergerus sebesar
  Rp 2,99 sehingga menjadi 2,01. Akibatnya pemilik bank akan mengalami kerugian
  karena tingkat pengembalian modal (ROE) menjadi minus 69,80%, dibandingkan
  dengan bila tidak terjadi gagal bayar dengan ROE 25%. Bila proses bisnis
  terus memburuk, misalnya gagal bayar menjadi 8%, maka modal bank menjadi
  minus Rp 2,23, karena pendapatan bank menjadi minus Rp 2,48 sementara biaya
  utang (bunga) tidak boleh default.  Neraca pertama memberikan gambaran
  kepada kita bahwa kegagalan mengelola bank akan berdampak penciptaan nilai
  bagi pemegang saham, yakni merugi dan ancaman untuk dilikuidasi karena modal
  sudah negatif. 
Untuk mengatasinya, tindakan
  yang harus diambil adalah dengan menambah modal menjadi Rp 10. Pada neraca
  kedua, dengan gagal bayar 8%, bank tetap bertahan dalam bisnis, tidak
  dilikuidasi karena modal bank masih positif Rp 3,02. Namun, bila bank
  dikelola dengan semberono atau tidak mampu berselancar di atas gelombang
  perubahan yang menimbulkan risiko strategik dan risiko kredit, maka dengan
  gagal bayar yang lebih tinggi, misalnya 11%, bank ini membutuhkan injeksi
  modal baru. Artinya, injeksi modal bank tidak akan memberi manfaat dalam
  jangka panjang bila risiko yang dihadapi tidak dikelola dengan baik. Tetapi,
  dalam jangka pendek, injeksi modal telah membuat bank tetap bertahan dalam
  menghadapi gejolak. Meskipun demikian, kekuatiran yang perlu diperhatikan
  adalah  perasaan nyaman injeksi modal. Perhatikan ilustrasi ini. Ketika
  Anda berkendara dengan sebuah mobil yang dipersepsikan nyaman, aman dan mewah
  dapat mengurangi atau menghilangkan kesadaran risiko (risk awareness), karena
  mobil akan digenjot dengan kecepatan tinggi.  Namun, ketika mobil Anda
  sudah tua dan dashboard tidak mampu memberikan informasi yang memadai,
  tidakkah Anda akan mengendarainya sangat hati-hati atau cenderung lambat,
  sehingga batu kecil di depan mobil dapat dengan mudah dikenali. Dengan
  demikian, dengan modal yang besar, kesadaran risiko bank akan berkurang
  karena mengandalkan semuanya kepada kecukupan modal. Tetapi dengan modal yang
  kecil bank tidak bisa melihat jauh ke depan (ekspansi), berkutat pada
  operasional sehari-hari. Oleh karena itu, bank harus memiliki keseimbangan
  pola pikir dalam mengelola risiko dan permodalan. Beberapa penulis
  menyimpulkan arti penting keseimbangan modal dan manajemen risiko. Pietro
  Penza dan Vipul K. Bansal mengatakan bahwa modal bukanlah subsitusi untuk
  manajemen risiko yang memadai dan seharusnya modal haruslah digandakan dengan
  manajemen risiko yang efektif. (Market risk management, 2002, pp 24) Selain
  itu, Brendon Young  dan  Rodney Coleman, mengatakan, bahwa “dalam
  hal menilai kecukupan modal, modal bukanlah sebuah panasea” (Operational risk
  assessment, 2009, pp 215). 
Berdasarkan contoh neraca di
  atas, bank perlu mengembangkan manajemen risiko (link proses manajemen
  risiko), misalnya pada risiko kredit yang dimulai dari proses inisiasi,
  analisis hingga penyelamatan dan penyelesaian. Atau mengelola neraca dalam
  manajemen aktiva-pasiva (ALM) sedemikian rupa melalui struktur dana pihak
  ketiga yang didominasi oleh produk berbunga rendah atau deposito inti yang
  stabil dan cenderung meningkat aktiva produktif yang menciptakan spread yang
  besar dan stabilitas profitabilitas. (link pengertian asset and liability
  management) Selain itu, bank harus mengelola ragam jenis modalnya yang sesuai
  dengan regulasi KPMM, atau yang mampu menutup semua risiko yang dihadapi
  termasuk yang kualitatif. (link economic capital) 
Sebagai industri yang memiliki
  daya ungkit yang tinggi (highly leverage),
  maka bank sangatlah di atur, untuk menjaga kepentingan investor-investor
  kecil  - jumlahnya sangat banyak – dapat dijaga ketika terjadi salah
  kelola. (mengapa bank sangat diatur).
  Sebagaimana layaknya usaha yang lain, modal merupakan sarana untuk menyerap
  kerugian dan kekuatan untuk ekspansi. Artinya, setiap ada kerugian bisnis
  serta merta akan memengaruhi permodalan bank, baik melalui laba/rugi proses mark to market, atau langsung
  kepada permodalan melalui risiko suku bunga banking
  book. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fungsi bank sebagai
  intemediari.  
.  
Sesuai dengan persamaan
  akuntasi Aset = Utang + Modal, maka
  setiap perubahan di Aset akan memengaruhi Utang dan atau Modal melalui laba
  rugi. Perhatikan contoh sederhana neraca bank, yang memiliki aset Rp 100,
  Utang Rp 95 dan Modal Rp 5. Bila suku bunga kredit dan deposito masing-masing
  6% dan 5%, maka dengan tingkat gagal bayar (default rate) sebesar 0%, aset
  bank di akhir tahun meningkat menjadi Rp 106 dan modal menjadi Rp 6,25
  melalui proses peningkatan laba sebesar Rp 1,25. Namun, dengan gagal bayar
  sebesar 4%, maka modal bank telah tergerus sebesar Rp 2,99 sehingga menjadi
  2,01. Akibatnya pemilik bank akan mengalami kerugian karena tingkat
  pengembalian modal (ROE) menjadi minus 69,80%, dibandingkan dengan bila tidak
  terjadi gagal bayar dengan ROE 25%. Bila proses bisnis terus memburuk,
  misalnya gagal bayar menjadi 8%, maka modal bank menjadi minus Rp 2,23,
  karena pendapatan bank menjadi minus Rp 2,48 sementara biaya utang (bunga)
  tidak boleh default.   
Neraca
  pertama memberikan gambaran kepada kita bahwa kegagalan
  mengelola bank akan berdampak penciptaan nilai bagi pemegang saham, yakni
  merugi dan ancaman untuk dilikuidasi karena modal sudah negatif. Untuk
  mengatasinya, tindakan yang harus diambil adalah dengan menambah modal
  menjadi Rp 10. Pada neraca kedua,
  dengan gagal bayar 8%, bank tetap bertahan dalam bisnis, tidak dilikuidasi
  karena modal bank masih positif Rp 3,02. Namun, bila bank dikelola dengan
  semberono atau tidak mampu berselancar di atas gelombang perubahan yang
  menimbulkan risiko strategik dan risiko kredit, maka dengan gagal bayar yang
  lebih tinggi, misalnya 11%, bank ini membutuhkan injeksi modal baru. Artinya,
  injeksi modal bank tidak akan memberi manfaat dalam jangka panjang bila
  risiko yang dihadapi tidak dikelola dengan baik. Tetapi, dalam jangka pendek,
  injeksi modal telah membuat bank tetap bertahan dalam menghadapi gejolak. 
Meskipun demikian, kekuatiran
  yang perlu diperhatikan adalah perasaan nyaman injeksi modal. Perhatikan
  ilustrasi ini. Ketika Anda berkendara dengan sebuah mobil yang dipersepsikan
  nyaman, aman dan mewah dapat mengurangi atau menghilangkan kesadaran risiko (risk awareness), karena mobil
  akan digenjot dengan kecepatan tinggi. Namun, ketika mobil Anda sudah tua dan
  dashboard tidak mampu memberikan informasi yang memadai, tidakkah Anda akan
  mengendarainya sangat hati-hati atau cenderung lambat, sehingga batu kecil di
  depan mobil dapat dengan mudah dikenali. Dengan demikian, dengan modal yang
  besar, kesadaran risiko bank akan berkurang karena mengandalkan semuanya
  kepada kecukupan modal. Tetapi dengan modal yang kecil bank tidak bisa
  melihat jauh ke depan (ekspansi), berkutat pada operasional sehari-hari. Oleh
  karena itu, bank harus memiliki keseimbangan pola pikir dalam mengelola
  risiko dan permodalan. Beberapa penulis menyimpulkan arti penting
  keseimbangan modal dan manajemen risiko. Pietro Penza dan Vipul K. Bansal
  mengatakan bahwa modal bukanlah subsitusi untuk manajemen risiko yang memadai
  dan seharusnya modal haruslah digandakan dengan manajemen risiko yang
  efektif. (Market risk management, 2002, pp 24) Selain itu, Brendon Young
   dan  Rodney Coleman, mengatakan, bahwa “dalam hal menilai
  kecukupan modal, modal bukanlah sebuah panasea” (Operational risk assessment,
  2009, pp 215). 
Berdasarkan contoh neraca di
  atas, bank perlu mengembangkan manajemen risiko (proses manajemen risiko), misalnya pada risiko kredit
  yang dimulai dari proses inisiasi, analisis hingga penyelamatan dan
  penyelesaian. Atau mengelola neraca dalam manajemen aktiva-pasiva (ALM)
  sedemikian rupa melalui struktur dana pihak ketiga yang didominasi oleh
  produk berbunga rendah atau deposito inti yang stabil dan cenderung meningkat
  aktiva produktif yang menciptakan spread yang besar dan stabilitas
  profitabilitas. (link pengertian asset and liability management) Selain itu,
  bank harus mengelola ragam jenis modalnya yang sesuai dengan regulasi KPMM,
  atau yang mampu menutup semua risiko yang dihadapi termasuk yang kualitatif.
  (economic capital) 
Penulis : Lando Simatupang 
|  | ||||
| 
Permodalan Bank | ||||
| 
Tuesday, 11 May 2010 03:18  | 
| 
Pengertian modal secara umum adalah modal
  diartikan sejumlah dana yang ditanamkan kedalam suatu perusahaan oleh para
  pemiliknya untuk pembentukan suatu badan usaha dan menghendaki agar uang yang
  ditanamkannya, memberikan hasil. 
Harapan atas pengembangan modal tersebut,
  diperoleh dari keuntungan atas operasional usaha, begitupun sebaliknya bila
  perusahaan mengalami kerugian, maka kondisi modal akan mengalami penurunan.
  Sementara itu,  pengertian modal bank dapat diartikan sebagai modal yang
  ditanamkan di Bank dan terdiri dari core modal dan modal penyangga. 
Pada unsur modal bank, core modal disebut
  Modal  Inti dan Modal Penyangga atau disebut sebagai Modal Pelengkap. 
Dalam neraca bank, terlihat bahwa
  rekening-rekening modal merupakan kewajiban dari passiva yang tergolong “Non
  Current”  artinya diluar dari kewajiban segera, tetapi  modal
  merupakan kewajiban dari bank terhadap pemiliknya. Untuk itu manajemen bank
  harus mempertangungjawabkan pengelolaan modal ini kepada pemegang saham pada
  waktu yang telah ditentukan, misalnya setahun sekali dalam RUPS. Modal
  merupakan salah satu faktor penting bagi Bank dalam rangka pengembangan usaha
  dan menampung risiko, tetapi juga sebagai sumber utama dana bank dalam
  memproteksi para deposannya. Berdasarkan ketentuan,  maka modal bank terdiri
  dari Modal Inti dan Modal Pelengkap. Modal Inti Modal inti adalah modal sendiri yang terdiri atas modal disetor, modal sumbangan, cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak. Komponen Modal Inti, dapat berupa Modal Disetor, Agio Saham, Modal Sumbangan, Cadangan Umum, Cadangan Tujuan, Laba yang Ditahan, Laba Tahun Lalu, Laba Tahun Berjalan, kesemuanya dikurangi dengan kekurangan pembentukan jumlah PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif). 
Secara rinci penjelasan  komponen
  atas  Modal Inti tersebut,  terurai sebagai berikut : 
 
Modal Pelengkap 
Modal Pelengkap,  adalah modal yang
  terdiri atas cadangan yang dibentuk tidak bersumber dari laba setelah
  pajak,  modal pinjaman serta modal subordinasi,  yang  
  terdiri atas : 
 
Adapun fungsi permodalan bank, yaitu : 
 | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar