Rabu, 08 Januari 2014

HAK PEKERJA DALAM HAL PERUSAHAAN PAILIT (Kasus Televisi Pendidikan Indonesia)

Perselisihan antara Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dengan Crown Capital Global Limited (CCGL) perihal putusan TPI pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terus berkembang dilanjutkan munculnya kekhawatiran pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan TPI oleh kurator pailit TPI. Hal tersebut sangat berpengaruh pada hak karyawan yang dilindungi Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Syarat pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Undang-Undang tidak menentukan PHK sebagai akibat tunggal atas pailit. Oleh karena itu, putusan pailit tersebut memberikan dua kemungkinan alternatif bagi TPI. Pertama, meski telah dinyatakan pailit, kurator pailit TPI dapat tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan konsekwensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon, biaya karyawan, pajak, dan biaya lainnya. Kedua, kurator pailit TPI berhak melakukan PHK dengan dasar pasal 165 UU Ketenagakerjaan.
Jika kurator pailit TPI tetap ingin melakukan kegiatan usahanya tanpa melakukan PHK, maka karyawan TPI tetap memiliki hak selayaknya karyawan pada umumnya. Hak karyawan yang telah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan seperti pengupahan, penempatan tenaga kerja, perlindungan, kesejahteraan, dan lain-lain. Putusan TPI pailit tidak mengurangi hak karyawan karena TPI tetap melakukan kegiatan usahanya meski dengan tumpuan kurator. Namun apabila TPI pailit kemudian telah disepakati bersama untuk melakukan PHK, maka kurator pailit TPI harus mematuhi pasal 165 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.

Jika kurator pailit TPI memilih untuk melakukan PHK, maka ia harus memenuhi hak karyawan yang terlindungi dalam pasal 165 tersebut yaitu membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan di atas.
Dalam hal pailit tersebut mengakibatkan TPI melakukan penutupan perusahaan (lock out) maka karyawan TPI berhak untuk merundingkannya dengan para pihak yang berselisih disertai arahan suatu instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (pasal 149 UU Ketenagakerjaan). Jika perundingan tersebut malah mengakibatkan penolakan sebagian atau seluruh karyawan menjalankan pekerjaan, maka karyawan berhak menuntut atas dasar pasal 146 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
Apa pun tindakan yang akan diambil TPI (jika akhirnya) paska putusan pailit dijatuhkan padanya, TPI harus tetap memberikan apa yang menjadi hak daripada para karyawannya yang telah dilindungi UU Ketenagakerjaan. Mengingat sekitar 1085 karyawan menggantungkan hidupnya dari pekerjaan di TPI, TPI juga harus mengupayakan agar jangan sampai terjadi PHK. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan : “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

sumber : http://mantanburuh.wordpress.com/2010/10/21/hak-pekerja-dalam-hal-perusahaan-pailit-kasus-televisi-pendidikan-indonesia/

Iklan Tidak Etis Jelang Buka Puasa 

Dunia pertelevisian kita belakangan ini makin marak. Mulai dari stasiun TV baru – baik cakupan nasional maupun lokal – TV Berbayar (Pay TV), merger TV-TV lama hingga investor baru di stasiun TV lama. Semua menunjukkan betapa TV memang sebuah industri yang menjanjikan untuk sebuah investasi dalam jumlah besar dan jangka panjang.
Karena itu produk-produk saling berlomba beriklan di TV-TV yang memiliki program-program terbaik (bukan lagi hanya karena timing-nya/primetime). Termasuk di saat Ramadhan seperti sekarang ini. Begitu banyak produk yang iklannya disesuaikan dengan suasana Ramadhan atau Lebaran.
Sayangnya, sekali lagi sayangnya, ada saja pihak-pihak produsen yang kebablasan dalam membuat/menciptakan sebuah iklan di bulan yang suci ini. Maka lahirlah iklan yang memang diciptakan untuk ditempatkan jelang buka puasa yang tidak etis.

Ada beberapa produk yang tak perlu sebutkan di sini (silakan simak saja setiap maghrib di beberapa stasiun TV – RCTI dan SCTV yang pernah di lihat) dengan sengaja memasukkan materi tabuhan bedug intro dan sepenggal kalimat pertama adzan maghrib – kata-kata “Allahu Akbar” sebagai materi pokok iklan produk mereka.
Tujuan iklan ini jelas, untuk mengucapkan “selamat berbuka puasa”. Tapi, caranya? Apa tidak ada cara lain yang lebih etis dan elegant ketimbang memakai materi tabuhan bedug intro dan sepenggal adzan?
Bukankah, tabuhan bedug dan adzan maghrib adalah bagian dari yang sakral dari sebuah ibadah yang namanya shalat – khusus selama Ramadhan, juga sebagai pertanda berbuka puasa?
Sepertinya produsen produk tersebut sudah menghalalkan segala cara untuk sekadar menarik perhatian konsumennya melalui iklan seperti itu. Padahal kenyataannya adalah bahwa iklan ini seperti ‘meledek’ orang yang sedang menunggu waktu berbuka puasa. Sebab, iklan tersebut diputar berulang-ulang beberapa menit (sekitar 2-3 menit) sebelum adzan sebenarnya berkumandang. Bagi mereka yang sedang ‘sekarat’ menunggu adzan maghrib bukan tidak mungkin akan menyangka iklan ini adalah tanda berbuka puasa. Sebaliknya, kalau adzan yang sebenarnya berkumandang, kita pun jadi agak ragu, apakah ini adzan atau bagian dari iklan?

Dari sisi kreatif iklan, tentu ini merupakan bentuk kreatifitas paling rendah. Karena, iklan ini tidak punya konsep iklan yang ajeg dan jelas. Iklan seperti ini hanya mengambil gampangnya saja tanpa memikirkan efeknya terhadap esensi adzan itu sendiri.
Yang patut disayangkan juga adalah pihak-pihak yang seharusnya menjadi polisi dalam hal-hal seperti ini, seperti MUI atau lembaga lainnya (mungkin termasuk ormas-ormas yang selama ini dikenal ‘galak’ terhadap segala bentuk pelecehan terhadap unsur-unsur Islami) terkesan adem-ayem saja.
Parahnya lagi, stasiun TV yang menerima iklan seperti ini juga tampaknya meloloskan begitu saja. Mungkin, (apalagi?), pertimbangannya soal bisnis. “You ada uang, silakan masuk!” Entahlah.

Semoga saja ada pihak-pihak yang tergerak untuk mempertimbangkan lagi bentuk iklan-iklan yang etis atau tidak etis jelang berbuka puasa. Kalau adzan saja sudah bisa dijadikan ‘materi’ iklan sehingga iklannya tidak etis seperti ini, apalagi bagian dari unsur-unsur Islam yang akan dikomersilkan di masa mendatang? Semoga saja ini tidak terjadi, dan semoga preseden buruk seperti iklan-iklan tidak etis jelang buka puasa ini bisa diredam sampai titik nol.

 http://ariftritura.wordpress.com/2006/10/10/iklan-tidak-etis-jelang-buka-puasa/

Etika Pasar Bebas, Kasus Indomie Di Taiwan

Menjelang dibukanya persaingan pasar bebas, Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis atau etika dalam berbisnis. Hal ini sangat penting diperhatikan dalam melakukan kegiatan bisnis dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi.  Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.Dalam kegiatan bisnis ini persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku.

Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.  Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di  Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.

A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

Dari pembahasan diatas terdapat beberapa factor yang menjadikan produk indomie dilarang dipasarkan dinegara Taiwan. Beberapa factor dianataranya adalah harga yang di tawarkan, bahan dasar atau zat pengawet yang digunakan dan aturan standarisasi. Jika dari harga, harga yang ditawarkan indomie lebih murah dibanding dengan makanan sejenis dengan kualitas yang sama, serta zat pengawet atau bahan pengawet yang digunakan indomie dikatakan berbahaya karena telah melebihi standar pemakaian di Taiwan,namun menurut Ketua BPOM Kustantinah kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi. Sedangkan aturan Negara masing-masing yang memiliki pandangan berbeda, indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec.

Jadi jelas etika dalam berbisnis sangat perlu diperhatikan sehingga masalah yang sekiranya akan terjadi dapat di selesaikan dengan baik tanpa harus ada salah satu pihak yang dirugikan.




KASUS SUAP
Agus: Whistle Blower
Seharusnya Divonis Bebas


 
JAKARTA (Suara Karya): Agus Condro Prayitno, whistle blower atau peniup peluit praktik suap untuk perkara suap kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 guna memenangkan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) tahun 200, mengaku kecewa atas vonis satu tahun tiga bulan penjara plus denda Rp 50 juta yang bisa diganti dengan hukuman kurungan selama tiga bulan. Selaku whistle blower, katanya, dia seharusnya divonis bebas.
"Dalam UU LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata," kata Agus, kemarin, di Pengadilan Tipikor, Jakarta. 
Menurut Soehartoyo, selaku Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang menyidangkan kasus dugaan suap dalam proses pemilihan Deputi Senior Gubernur BI pada 2004 ini, Agus telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan terdakwa lain. 
Di samping Agus, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Williem Max Tutuarima juga diputus bersalah. Namun, vonis kepada mereka lebih besar, yaitu masing-masing selama satu tahun dan delapan bulan serta satu tahun dan enam bulan. Hakim Sofialdi menjelaskan, seluruh terdakwa sebagai penyelenggara negara seharusnya tidak menerima janji ataupun suap. Sebanyak 10 lembar cek perjalanan yang diterima keempat terdakwa itu dianggap sebagai hadiah.
Majelis juga tidak menerima cek perjalanan itu dianggap sebagai bantuan dana kampanye. Baik saksi maupun bukti yang dihadirkan di dalam persidangan sama sekali tidak mengarah kepada dana bantuan kampanye. Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar majelis hakim menjatuhkan vonis 1,5 tahun ditambah denda Rp 50 juta kepada Agus Condro dan dua terdakwa lainnya.
Usai mendengarkan vonis itu, kepada wartawan, Agus menyatakan menerima vonis tersebut. Agus mengaku tidak menyesal, walaupun akibat membongkar kasus itu justru membuatnya harus menghabiskan sedikit waktunya di balik tembok penjara. 
"Saya terima, karena saya solider sama rekan-rekan saya," ujar Agus. Menurut Agus, seorang whistle blower bukan tidak harus dihukum. Sebab, hal tersebut akan mengabaikan rasa keadilan. 
Sementara itu, saat membacakan nota pembelaannya, Rabu (15/6) malam, politikus senior PDI Perjuangan Panda Nababan, dalam pledoi yang dibacakannya di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menyatakan tuntutan JPU terhadapnya berdasarkan perintah, bukan rasa keadilan. 
"Pokoke Panda, seperti itulah tuntutan jaksa, hanya sesuai perintah saja," kata Panda Nababan.Namun, Panda tidak jelas dan tuntas menyebutkan sumber perintah yang ia maksud tersebut. Dalam pledoi berjudul "Tuntutan Berdasarkan Fitnah", tersangka dugaan penerimaan suap terkait pemilihan Miranda Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004 ini mengkritik JPU dari KPK, di antaranya sikap tidak terpuji di pengadilan dan menghalangi pemeriksaan terhadap tiga saksi.Seperti diketahui, dalam sidang tuntutan, pihak Panda Nababan meminta hakim memerintahkan JPU menghadirkan tiga orang saksi, yakni Hamka Yandhu, Sekretaris Nunun Nurbaeti, Sumarni, dan saksi Santoso."Saya tidak mengerti kenapa tidak mau dihadirkan. Padahal di BAP mereka ada," kata Panda seperti dikutip Antara.Ia menyebut, sikap JPU tidak mumpuni. 
KPK yang seharusnya berperan sebagai supervisi, menurut dia, tidak dapat menggunakan jaksa yang tidak mumpuni tersebut karena dapat menghancurkan citra lembaga antikorupsi tersebut."Jika ingin membuat KPK lebih kuat, menurut Undang-Undang KPK seharusnya melakukan supervisi terhadap penyidik kepolisian dan penuntut kejaksaan, tetapi ternyata jaksa dan penyidik yang digunakan KPK tidak mumpuni," ujar Panda. 
Untuk itulah, ia mengatakan bahwa dirinya telah melaporkan jaksa yang menangani kasusnya itu kepada Kejaksaan Agung. JPU dari KPK sendiri telah menuntut Panda Nababan bersalah dan meminta hakim menjatuhi hukuman tiga tahun penjara. Tuntutan tersebut menjadi yang tertinggi dibanding terdakwa kasus dugaan penerimaan suap lainnya.  
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=281021